DALAM sebuah diskusi babad di Jakarta, saya mendapat pertanyaan begini: "Apakah Arya Belog itu sama dengan Arya Tan Wikan? Kalau sama, kenapa namanya berbeda".
Saya menjawabnya dengan enteng saja. Arya Belog tentu saja sama dengan Arya Tan Wikan, karena pengertian kata itu juga sama, "belog" dan "tan wikan" hanyalah penghalusan dalam bahasa Bali, yang artinya bodoh. Masalahnya kenapa ada penghalusan bahasa? Itu berkaitan dengan penghormatan kepada seorang tokoh, bagaimana keterikatan batin seseorang terhadap tokoh itu. Penghormatan ini juga dipengaruhi oleh budaya lokal, kebiasaan tata pergaulan setempat. Sama dengan penghormatan untuk seorang ayah. Ada beberapa sebutan: nanang, bapa, guru, aji. Dalam bahasa Indonesia pun begitu, ada yang menyebutnya: ayah, bapak, papa, babe, bokap.
Kepada peserta diskusi, saya justru balik mengajukan pertanyaan: "Apakah Anda yakin Arya Belog atau Arya Tan Wikan itu, memang nama sebenarnya?" Saya kemudian menjelaskan, bagaimana babad itu harus dibaca dan dipahami. Di masa lalu, seorang tokoh yang datang ke suatu tempat sering "tidak bernama". Bisa karena tokoh itu tak ingin mengagungkan namanya, bisa pula karena masyarakat setempat tak peduli dengan namanya. Karena tokoh itu kemudian berjasa, baru belakangan diberikan nama oleh para pengikutnya dengan beberapa variasi. Ada nama karena julukan, ada nama karena wilayah menetap, ada nama karena keturunan. Danghyang Nirartha di daerah lain disebut Pandita Sakti Wawu Rawuh, karena para pengikutnya sama sekali tak peduli dengan nama beliau. Beliau datang sebagai pendeta dan berjasa mengobati banyak orang, masyarakat memberikan julukan "pendeta sakti yang baru datang".
***
Saya menjawabnya dengan enteng saja. Arya Belog tentu saja sama dengan Arya Tan Wikan, karena pengertian kata itu juga sama, "belog" dan "tan wikan" hanyalah penghalusan dalam bahasa Bali, yang artinya bodoh. Masalahnya kenapa ada penghalusan bahasa? Itu berkaitan dengan penghormatan kepada seorang tokoh, bagaimana keterikatan batin seseorang terhadap tokoh itu. Penghormatan ini juga dipengaruhi oleh budaya lokal, kebiasaan tata pergaulan setempat. Sama dengan penghormatan untuk seorang ayah. Ada beberapa sebutan: nanang, bapa, guru, aji. Dalam bahasa Indonesia pun begitu, ada yang menyebutnya: ayah, bapak, papa, babe, bokap.
Kepada peserta diskusi, saya justru balik mengajukan pertanyaan: "Apakah Anda yakin Arya Belog atau Arya Tan Wikan itu, memang nama sebenarnya?" Saya kemudian menjelaskan, bagaimana babad itu harus dibaca dan dipahami. Di masa lalu, seorang tokoh yang datang ke suatu tempat sering "tidak bernama". Bisa karena tokoh itu tak ingin mengagungkan namanya, bisa pula karena masyarakat setempat tak peduli dengan namanya. Karena tokoh itu kemudian berjasa, baru belakangan diberikan nama oleh para pengikutnya dengan beberapa variasi. Ada nama karena julukan, ada nama karena wilayah menetap, ada nama karena keturunan. Danghyang Nirartha di daerah lain disebut Pandita Sakti Wawu Rawuh, karena para pengikutnya sama sekali tak peduli dengan nama beliau. Beliau datang sebagai pendeta dan berjasa mengobati banyak orang, masyarakat memberikan julukan "pendeta sakti yang baru datang".
***